Gadis Desa Utara
Pagi ini sama seperti pagi biasanya. Setelah
selesai sarapan dan memakai pantofel, aku berjalan keluar dan duduk
di teras untuk menunggu kedatangan sahabatku. Kami selalu bersama pergi ke sekolah. Seraya menunggunya datang, aku mengecek satu persatu buku di
dalam tas. Memastikan bahwa terdapat dua buku tulis matematika di sana dan tidak
ada buku biologi.
“Hai!” suara serak yang sama seperti biasa.
Aku mendongak hanya untuk mendapati wajah pucat dan
mata sipit yang bengkak milik sahabatku. Netraku kugulirkan ke bawah sedikit
hanya untuk mendapati dua luka melintang yang terlihat masih basah di tangan
kiri sahabatku. Pemandangan pagi yang cukup membuatku miris.
Aku bergegas berdiri dan menggendong tasku, lalu ku
tarik satu-satunya sahabatku ini ke dalam pelukan hangat dariku.
“Ayo berangkat,” pinta nya yang justru aku abaikan.
Aku semakin mengeratkan pelukan itu, berusaha menyalurkan energi positif
padanya.
“Soph, ayo kita berangkat! Kau mau dimarahi Miss
Eleanor hanya karena terlambat satu menit masuk ke dalam kelas?”
“Tentu tidak. Itu adalah sebuah mimpi buruk yang
bahkan semua siswa di sekolah tidak mau mengalaminya. Jadi, ayo kita
berangkat!”
Aku berjalan di sisi kanan sahabatku, menggandeng
tangan kanannya yang masih dibalut plester luka. Di sepanjang jalan ketika dia menatap ke
depan, aku justru memperhatikan wajah sahabatku ini secara lekat.
Namanya Aelin, nama yang menurutku bagus. Namun
hidupnya jauh sekali dari namanya yang terbilang bagus itu. Terpaan angin
membuat rambut panjang miliknya beterbangan. Bagiku dia itu cantik, bahkan
sangat cantik. Tapi nasibnya tidak seberuntung itu.
Kami dipertemukan ketika membeli susu sapi di
peternakan desa utara. Ketika itu, aku dan dia masih kecil. Bahkan tinggi kami
hanya menyentuh pinggang orang dewasa. Setelah pertemuan tidak sengaja itu,
kami dipertemukan lagi di sekolah ini. Ia diperkenalkan sebagai siswa pindahan
dari desa utara. Dan entah sebuah ketidaksengajaan atau takdir tuhan, kami
dipertemukan lagi sebagai tetangga yang bahkan tidak ada jarak dari rumahku ke
rumahnya.
Ketika aku dan sahabatku masuk ke kelas, hingar
bingar yang sedari tadi terjadi secara otomatis berhenti. Ini tidak aneh lagi,
karena tidak lama kemudian pasti,
“Hei perempuan jelek dari desa utara!”
Teriakan menggelegar dari salah satu anak lelaki
yang lebih tinggi dari yang lain. Sedetik kemudian kelas menjadi berisik karena
dipenuhi tawa dua puluh sembilan siswa lain, atau mungkin tiga puluh ditambah
si anak lelaki.
Aelin masuk dengan tertatih yang menyebabkan tawa
tiga puluh siswa itu kembali menggelegar. Aku buru-buru mendekatinya dan
menatihnya dari sebelah kanan. Setelah cukup lama berusaha, kami berhasil
duduk di bangku kami yang berada di pojok belakang kelas.
Secara serentak semua tawa itu berhenti setelah
mendengar suara sepatu yang bercumbu dengan lantai. Juga secara serentak pula
semua siswa yang tidak berada di bangkunya langsung berlarian kembali ke bangku
masing-masing.
Itu Miss Eleanor. Guru matematika yang paling
ditakuti oleh siswa seantero sekolah.
Beliau memasuki kelas kami. Suara sepatunya yang
bercumbu dengan lantai marmer kelas lebih terdengar nyaring dari jarak sedekat
ini.
“Selamat pagi,” sapaan keluar dari bibir tebalnya
yang penuh dengan lipstick mengkilap itu. Hingga aku bergidik melihatnya.
“Pagi miss!” sapa balik
seluruh siswa di dalam kelas.
Kemudian ia meminta kami mengumpulkan buku tugas
yang berisi tugas rumah minggu lalu. Aku langsung berdiri dan mengumpulkan dua
buku matematika yang tadi pagi sudah aku pastikan keberadaannya di dalam tas.
Dua buku matematika itu bertuliskan namaku dan nama
Aelin. Ia tidak pintar dalam matematika, alhasil aku yang lebih unggul pun
menyalin jawabanku pada bukunya. Sebaliknya, aku yang tidak pintar dalam
biologi pun dapat salinan jawaban darinya yang sangat unggul dalam biologi.
***
Pelajaran demi pelajaran berlalu, kini bel tanda
pulang sekolah berbunyi. Aku dan sahabatku yang duduk di sampingku menunggu
sebentar hingga sekolah sepi. Ini sebenarnya keinginanku karena tidak ingin
Aelin ditertawakan lagi oleh siswa yang bahkan jumlahnya lebih banyak dari tadi
pagi.
Setelah ku pastikan halaman dan lorong sekolah sudah
sepi, aku mengajak Aelin keluar dan pulang.
Di perjalanan ia diam sembari sesekali melihat pada luka di tangan
kirinya. Aku yang mengetahui itu langsung menarik ia mendekat dan mendekap nya
dari samping. Ia tersenyum atas perlakuan kecil itu dan kubalas dengan senyum
pula.
Saat hampir sampai di depan rumahku, ia mendekat
padaku. Lalu berbisik kecil,
“Sophia, jika nanti malam kamu mendengarkan tangisku lagi tolong jangan datangi rumahku. Cukup aku yang dipukul dan terluka
karena ulah ibuku, kamu jangan. Menjadi tuli semalam demi keselamatan dirimu
tidak apa-apa. Jaga dirimu ya.”
Setelah bisikan kecil itu selesai ia ucapkan, ia
langsung berlari menuju arah perpustakaan di sebelah timur area desa ku. Aku
hanya bisa menatap punggung nya dengan tatapan pilu. Ku biarkan dia menikmati
waktu nya sendiri dan berharap semoga saja ia tidak melakukan hal-hal diluar
batas manusia. Sementara itu aku memasuki rumah dan segera berganti pakaian.
***
Tepat ketika matahari sudah kembali ke peraduannya
dan mengucapkan selamat tinggal pada semesta, aku sudah menyelesaikan makan
malam ku. Aku kembali ke kamar dan duduk termenung di atas ranjang.
“Ibu..jangan..”
“Ibu.. aku mohon..”
Rintihan demi rintihan terdengar diiringi suara
tangisan sebagai nada mayornya menusuk ke indra pendengaranku. Aku ingin
sekali berlari ke rumah sampingku, mendobrak pintu utamanya dan membawa lari
Aelin bersamaku. Meski berujung aku ditampar oleh ibunya tak apa, asalkan pada keesokan
paginya aku tidak melihat luka melintang yang masih baru dan diperbarui setiap
malam oleh ibunya.
Semakin malam, semakin tidak terdengar rintihan
maupun isakan Aelin yang masuk ke kamar kecilku. Setelah ku rasa ia tidak
disakiti lagi oleh ibunya, aku mencoba tidur hanya untuk dihadapkan pada
kehilangan di esok hari ketika sudah terbangun sempurna.
***
Hari ini libur, alhasil aku ingin mengajak Aelin
untuk berkeliling desa dengan diakhiri makan es krim di kedai Paman Aiden. Tapi
ketika aku ingin mengetuk pintu rumahnya, kak Daniel sang penjaga perpustakaan
memberitahuku jika ia melihat Aelin berlari menuju perpustakaan sejak tadi
pagi. Aku pun segera bergegas kesana.
Di ujung lorong perpustakaan, siluetnya terlihat jelas
dari tempatku berpijak. Ia menunduk sembari mengusap mata menggunakan punggung
tangannya. Dapat ku tebak, dia menangis, lagi.
Tak lama setelah aku diam dan hanya memperhatikan
aktivitas kecilnya itu, dia tersadar bahwa aku melihatnya dari kejauhan. Siluet
sahabatku terlihat berdiri lalu melangkah ke arah tempat aku berpijak. Semakin
mendekat, semakin jelas terlihat mata sipitnya masih bengkak dan tergenangi air
mata.
Dia memeluk ku seakan tidak pernah mau kehilangan.
Semakin lama, semakin ia eratkan pelukan itu. Tidak membiarkan aku untuk
bergerak bebas sedikit pun.
Helaan nafas berat bisa ku rasakan dari jarak sedekat
itu. Bahkan degup jantungnya yang tidak teratur dan nafas yang memburu dapat ku
rasakan dengan jelas.
Sepuluh menit kemudian, bisa kurasakan badannya
menjadi dingin. Nafas hangatnya tidak ku rasakan lagi. Ku lepas sebentar
pelukan itu hanya untuk melihat apa yang terjadi pada sahabatku.
Rupanya ia menutup mata dengan tenang seraya
tersenyum manis. Seolah semua masalahnya hilang, semua rasa sakit di luka yang
terus baru setiap malam pudar, dan isakan yang ku dengar setiap malam itu tidak
pernah ada.
Selamat jalan Aelin Epione.
Komentar
Posting Komentar