Payungan Langit Yang Sama
Selamat pagi, selamat malam
Untuk
kamu yang ada di sana
Rasa
suka ku membuncah di sini
Berharap
selalu ingin jumpa
Hingga berharap ingin memiliki
Rembulan
bersinar terang di langit malam
Fajar
menyingsing membawa perlawanan
Hingga
mentari meninggi, aku masih menunggu
Kapan
kiranya kisah ini berakhir
Sering
aku mendapati mu bercengkerama dengan temanmu
Sering
juga mendapati mu berjalan sendirian
Secara
sengaja aku selalu berusaha menatapmu
Dan
berkhayal berjalan di samping mu
Menjadi
manusia ada sukses dan gagal nya
Tapi
aku rasa mundur adalah pilihan
Karena
seberapa besar usaha ku mendekati
Kau
akan menjauh secara pasti
Secarik kertas berisi puisi ngawur nya itu diremas, lalu dibuang begitu saja ke tempat sampah di sampingnya.
Faradiba namanya, gadis pendiam yang biasa disapa Fara itu kembali menyukai seseorang setelah membiarkan hatinya kosong beberapa pekan. Kepalanya ia jatuhkan ke meja. Rambutnya ia biarkan tergerai berantakan. Sweater hitam dengan ukuran yang lebih besar dari tubuhnya itu ia tarik untuk menutupi kedua lengannya.
Lagi dan lagi
terpikirkan olehnya sosok laki-laki berkacamata yang kemarin ia temui di kafe
seberang sekolah. Tidak ada yang aneh pada penampilan laki-laki tersebut. Hanya
saja, siluetnya mampu membuat seorang Fara kehilangan fokus sejenak dan
merasakan darahnya mengalir lebih cepat.
Namun ada yang berbeda dari biasanya. Setiap kali Fara melihat laki-laki itu masuk atau nongkrong di kafe tersebut, ia tidak akan bersama perempuan atau setidaknya selain beberapa pacar teman-temannya. Sedikit berbeda, laki-laki itu membawa kakak kelas mereka ke kafe tersebut. Kakak kelas yang usianya terpaut dua tahun dengan mereka.
Karena tidak kenal dan merasa kalau mereka hanya berteman, Fara menjadi tidak peduli. Ia lebih memilih tuli dari perkataan temannya –Viona untuk meninggalkan laki-laki yang seangkatan dengan mereka itu.
Sudah bercerita banyak mengenai banyak hal, tapi siapa laki-laki itu? Dia Lokapala, terkenal dengan nama panggilan Loka. Ciri khasnya ada tiga: berkacamata, lengan kemeja panjang yang digulung, dan sepatu putih meskipun di hari Selasa.
Awalnya Fara mengenalnya secara tidak sengaja. Ketika pengenalan siswa baru, mereka berada di aula sekolah yang sama. Namun Loka lebih sering berangkat mepet sehingga sedikit menarik perhatian Fara yang saat itu sedang berusaha melupakan perasaannya pada teman sekelas di sekolah jenjang sebelumnya.
Karena terlalu mengantuk dan lelah, Fara memilih beranjak dari meja belajarnya dan bersiap untuk tidur. Ketika sudah siap dengan piyama hitam kesukaannya, ia langkahkan kaki jenjangnya ke dapur. Mengambil segelas air putih hangat untuk menegak satu butir Alprazolam. Terlalu sulit untuk tidur dengan cara biasa di malam yang penuh bintang ini.
Mentari kembali menyapa ketika Fara sudah siap dengan seragam sekolahnya. Karena ibunya tidak punya waktu untuk membuat makanan di pagi hari, maka ia lebih sering membeli bubur ayam Kang Asep di dekat sekolah.
Sekolah terlihat sepi ketika kakinya melangkah di jalanan penghubung area sekolahnya. Banyak murid lebih memilih mendekam di dalam kelas untuk sekadar membahas tugas rumah atau menceritakan banyak hal. Ini terbukti ketika Fara masuk ke kelasnya dan mendapati banyak temannya mengobrol serta bercanda.
“Hai Vi!” sapanya
“Halo Faraaaa! Kamu tau nggak si Loka semalem habis jalan ke pameran loh. Tapi nggak tau sama siapa,” balas Viona dengan mulai membahas Lokapala.
“Terus, kenapa emangnya?”
“Kamu nggak cemburu?”
“Buat apa cemburu? Nggak ada hubungan juga,” balas Fara sambil membuka salah satu game online yang sering ia mainkan akhir-akhir ini.
“Kamu tau nggak jalan sama siapa?” tanya Viona.
“Kamu emangnya tau?”
“Enggak, kalau aku tau ya nggak bakal aku tanya.”
“Sama Kak Ratri,” balas Fara dengan singkat
“KOK KAMU BISA TAU?” tanya teman sebangkunya dengan heboh.
“Kan aku follow instagramnya, semalam bikin instastory.”
Viona mengangguk paham dengan mulut terbuka membentuk huruf O.
“Yeay, victory!” seru Fara setelah menghabisi turret lawan di game yang sedang ia mainkan.
“Dasar, pagi-pagi udah main game aja. Untung pinter.”
Pembicaraan terputus, bel berbunyi, dan guru seni budaya mereka masuk untuk mengawali pembelajaran di hari Kamis yang sempat mendung ini.
Jam ketiga hingga kelima adalah pelajaran agama. Seperti biasa, jam istirahat lebih lama karena mereka diberi kesempatan untuk melaksanakan salah satu ibadah sunah di pagi hari. Sangat kebetulan di jam pelajaran yang sama kelas Loka sedang melaksanakan jam olahraga. Setelah dari masjid, Fara mengajak Viona untuk duduk di gazebo yang paling dekat dengan lapangan basket untuk sekadar menikmati ketampanan Loka.
“Ra, mau sampai kapan begini terus?”
“Begini apanya?”
“Ya.. suka sama Loka yang bahkan nggak kenal sama kamu?”
“Nggak tau juga Vi, susah buat lepas,”
Viona beranjak, pergi ke perpustakaan karena lelah dengan sikap sahabatnya. Fara hanya diam menatap kepergian sahabatnya. Lalu kembali memutar kepala untuk mengagumi laki-laki berkacamata yang sedang bermain basket di depan sana.
“Fara! Boleh tolong ambilin bolanya?”
Laki-laki itu, Lokapala, yang semalam sempat membuat ia galau setengah mati menyebut namanya dan meminta tolong padanya. Dengan segera Fara mengambil bola basket yang terlempar ke depan gazebo dan melempar ke sang empunya.
“Makasih banyak!” ucap Loka setelah menangkap operan bola dari Fara.
Darahnya mengalir lebih cepat, jantungnya berdegup lebih kencang. Cepat-cepat ia menyahut “sama-sama” dan melangkah ke perpustakaan untuk memberi tahu Viona tentang kejadian barusan. Lokapala tahu namanya!
Sepulang sekolah, Fara dan Viona tidak langsung kembali ke rumah. Mereka menyempatkan diri untuk membeli jajanan kaki lima di depan sekolah. Fara memilih cilor dan Viona memilih crepes.
Di tengah-tengah menunggu pesanan, Fara mengedarkan pandangan. Hingga netranya menangkap sebuah pemandangan kecil yang lumayan menyakitkan. Lokapala bersama Kak Ratri, lagi. Rasanya ia ingin mendatangi mereka berdua lalu membawa Loka pergi kemanapun yang mereka mau. Sebuah fantasi remaja yang tidak mungkin ia lakukan.
Pemandangan itu masih membayangi hingga kini pasangan kasmaran itu juga membeli jajanan dengan jenis yang sama dengannya. Di samping kanannya, mereka berdua saling berbicara, saling menatap, saling memberi afeksi kasih sayang. Nyeri dan sesak memenuhi dadanya. Ingin cepat-cepat ia pergi dari tempat itu.
Beruntungnya pesanannya cepat selesai. Lekas ia membayar dan pergi ke tempat Viona membeli jajan. Di sepanjang jalan pulang, Fara sulit menyembunyikan perasaan sakitnya. Setengah mati ia tahan tangisnya. Kini benar apa yang dikatakan Viona, mereka bukan siapa-siapa.
Malam tiba, dari atap rumah bisa Fara lihat banyak bintang-bintang memenuhi langit. Cerahnya langit malam itu tidak sejalan dengan perasaannya. Masih sukar baginya untuk menutup kisah ini. Ada sedikit keragu-raguan dalam hatinya untuk melepaskan.
Berjam-jam ia habiskan waktu di atap rumah. Ditemani secangkir kopi dan buku setebal lima ratus tiga puluh lima halaman hingga jam menunjukkan pukul empat pagi.
Sepanjang sabtu malam itu ia habiskan dengan membaca. Sedikit lama setelah bab terakhir ia baca dan cangkir kopi ke empat ia tenggak habis, fajar membawa perlawanan pada langit dan bintang-bintang.
Hangatnya matahari pagi menyapa kulit sawo matang Fara. Buku dan cangkir kopi di dekatnya ia tepikan, kakinya diluruskan dan melakukan sedikit peregangan. Kelopak matanya ia tutup untuk menikmati sentuhan akrab mentari.
Paragraf terakhir dalam novel yang sedari beberapa jam lalu ia baca sedikit menyadarkannya. Banyak penyesalan ia tumpahkan. Tangis yang kemarin ia tahan kini membanjiri pipi tembamnya.
Aku
sangat kesal kenapa harus suka dengan seseorang yang tidak dekat denganku. Ia bahkan
terlalu jauh dari jangkauanku. Kini menjauh bukan sebuah pilihan, namun
keharusan. Setidaknya kita berada di bawah payungan langit yang sama, melihat
bintang-bintang dan menikmati kehangatan matahari pagi yang sama.
Komentar
Posting Komentar