Labdajaya Hakim

Tak ada kata sepi di sela-sela Jakarta malam hari. Kota yang tak pernah mati ini menemani Labda sehari-hari. Dari pagi ketika bergegas menuju sekolah, di siang hari ketika ia harus mengerjakan ulangan harian dari Bu Ambar, waktu sore yang selalu ia habiskan untuk melakukan hobinya –bermain basket, dan pada malam hari yang sudah pasti ia pakai untuk pergi ke tempat les untuk belajar lagi, lagi, dan lagi.

Labdajaya Hakim atau yang akrab disapa Labda ini adalah sosok yang selalu menempati posisi sebelas di peringkat paralel angkatan. Sekeras apapun ia berusaha, serajin apapun ia belajar, di setiap kali pengumuman peringkat tentu sudah bisa ditebak semua orang bahwa Labdajaya Hakim tidak akan bisa masuk peringkat sepuluh besar di paralel angkatan.

Seperti malam-malam biasanya, langit Jakarta yang penuh polusi itu tidak bisa menampakkan satupun cahaya bintang. Juga seperti biasa di Hananda School, hari ini adalah hari penerimaan rapot. Sepuluh siswa yang memiliki nilai tertinggi di setiap angkatan dipanggil untuk menerima sebuah sertifikat yang sangat berguna bagi masa depan mereka. Satu sertifikat memiliki arti satu tiket menuju satu universitas negeri di Indonesia terbuka. Apabila memiliki enam tiket, maka peluang untuk diterima ke sebuah universitas ternama negeri di Indonesia terbuka sangat lebar. Namun entah karena teman-temannya yang terlalu jenius atau dirinya yang kurang berusaha, Labdajaya Hakim tak pernah mendapat satupun sertifikat selama satu setengah tahun menempuh pendidikan di sekolah ini.

Di liburan semester yang hanya memakan waktu satu minggu ini, Labda memutuskan untuk tidak pergi keluar kota menyambangi neneknya di Yogyakarta atau pergi liburan ke kota lain. Ia menghabiskan banyak waktu di rumah untuk mencuri start belajar dibandingkan teman-temannya. Tekanan dari kedua orang tuanya juga turut memaksa ia untuk selalu belajar. Mempelajari apapun yang ia belum bisa. Membaca buku apapun yang belum ia lahap kalimat demi kalimatnya.

Pada malam ketiga di hari liburnya, Labda tak bisa tidur. Matanya tidak mau terpejam dan otaknya tidak mau dipaksa berhenti berpikir. Lantas ia bangun dari kasurnya, berpindah menuju meja belajar. Rapot yang baru diterima beberapa hari lalu tergeletak di atas meja. Ia buka setiap halamannya. Menapaki tapak tilas angka-angka yang ia dapatkan dengan penuh perjuangan. Satu per satu angka ia cermati. Predikat A di sampingnya justru menambah kesempurnaan rapot milik sosok bernomor absen dua puluh satu ini.

“Labda, dulu ayah sama ibu kamu berhasil lulus dari Hananda School dengan lima sertifikat. Kamu jangan bikin malu kami! Buat apa kamu terus-terusan sekolah di sana kalau kamu nggak bisa bawa satupun sertifikat?” Suara ayahnya terus terngiang di benaknya.

Jarum panjang jam dinding bergerak secara konstan, membawa malam menjadi semakin larut. Jakarta dini hari lebih sunyi. Karena tidak kunjung dapat tidur, Labda memutuskan menelan satu tablet obat penenang yang diresepkan psikiater pribadinya.

Hari-hari ketika liburan tidak jauh berbeda ketika sekolah. Hanya saja tidak perlu bergegas ke sekolah dan mengerjakan belasan soal ulangan harian. Sisanya sama, setidaknya begitu bagi Labda. Buku latihan soal dan kumpulan materi semester selanjutnya tertumpuk rapi di meja belajar, menunggu urutan meminta untuk dikerjakan. Namun ia juga perlu belajar untuk menghadapi olimpiade kimia.

Kimia, sebuah pelajaran yang memuakkan bagi kebanyakan orang. Pelajaran yang melelahkan karena para pelajar diwajibkan menghafal ratusan nama unsur beserta lambangnya. Tapi kimia bagi Labda adalah sebuah tempat pelarian. Sebuah tempat ketika Jakarta dan rumahnya sudah tidak ramah terhadap dirinya. Terbukti ketika kini ia membaca materi stoikiometri sekilas dan berlalu mengambil latihan soal yang sudah ia cetak kemarin sore. Dan begitu saja ia menghabiskan hari itu bersama kimia beserta hitungan-hitungan rumitnya.

Berminggu-minggu kemudian, setelah olimpiade kimia diadakan dan Labda menyabet medali emas. Semua keadaan masih sama, sekolah masih mengadakan ulangan harian, ayah dan ibu yang menuntutnya untuk memiliki setidaknya satu sertifikat hasil peringkat sepuluh besar, les setiap malam yang masih saja terus menerus didatangi, terkecuali satu hal yang tidak pernah disadari banyak orang. Labda yang semakin sulit tidur, semakin mengandalkan obat penenang, semakin terbebani dan merasa lelah.

Persiapan ujian akhir semester semakin membebani pikiran seorang Labdajaya. Rasa takutnya membuncah. Berjam-jam ia habiskan untuk mempelajari belasan mata pelajaran. Tak pernah absen air matanya menetes ketika ia kelelahan belajar. Semua buku latihan soal dilahap habis oleh otak cerdasnya.

Hingga hari ujian tiba, Labda sedikit gugup hari itu. Semua kerja kerasnya selama kurang lebih enam bulan terakhir harus terbayar di ujian yang diadakan selama tujuh hari itu. Seperti biasa, soal-soal kimia berhasil dituntaskan dalam waktu sekian menit. Ia merasa percaya diri dengan peringkatnya kali ini.

Pembagian rapot dilaksanakan dua minggu setelahnya. Dalam kurun waktu dua minggu, lelaki dengan nama akhir Hakim ini bisa sedikit bernafas lega. Basket menjadi cabang olahraga yang ia ikuti di classmeeting. Berkat kemampuannya, ia berhasil membawa kelasnya juara satu di cabang lomba basket. Euforia di kelasnya membuat ia sejenak melupakan masalahnya.

Jakarta yang kadang bisa menjadi sangat lambat karena kemacetannya, kadang juga bisa menjadi sangat cepat. Hari penerimaan rapot pun tiba. Juga berarti tiba saatnya untuk Labdajaya kembali ke realita bahwa nasib dirinya ditentukan hari ini.

Ketika matahari masih malu-malu untuk memunculkan sinarnya, keluarganya yang tinggal di Pondok Indah sudah mulai bersiap. Sebelum kemacetan Jakarta mulai terbentuk lagi oleh kumpulan mobil dan motor yang merebutkan volume jalan raya di ibu kota Indonesia ini, mereka sudah melaju menuju Hananda School.

Dari aula yang berada di bagian tengah belakang sekolah sudah mulai terdengar ada alunan musik yang meriah. Kursi-kursi ditata sedemikian rupa dan dibatasi oleh karpet merah yang membentang di tengah-tengah aula. Tepat pukul delapan pagi, acara penentuan nasib Labdajaya pun dimulai.

Selama pembukaan acara, ramah tamah, serta sambutan, Labda tidak bisa duduk dengan tenang. Beberapa pendingin ruangan seperti tidak bekerja dengan baik pada tubuhnya yang kini bercucuran keringat. Ia merasa Jakarta yang kemarin berjalan sangat cepat, kini seolah iseng melambat hanya untuk membuat dirinya merasa lebih tertekan lagi.

Acara terakhir pun datang, kepala sekolah mengumumkan sekaligus memberi sertifikat kepada sepuluh orang yang memiliki nilai tertinggi di angkatan. “Peringkat sepuluh, Samudra Arshaka! Peringkat sembilan Arutala Pasha! Peringkat delapan…” nama-nama pemegang peringkat sepuluh besar mulai diucapkan satu persatu, mereka juga sudah mulai maju ke panggung. “Peringkat dua Shilla Larasati, dan peringkat pertama Safaluna Ribka!”

Labdajaya Hakim, namanya tidak disebutkan dalam sepuluh pemilik nilai tertinggi diangkatan. Itu artinya ia juga tidak bisa membawa sertifikat yang menjadi kebanggan orang tuanya pulang ke rumah. Semua sia-sia. Les setiap malam, mengerjakan ribuan latihan soal, dan waktu enam bulan yang ia habiskan untuk belajar terasa sia-sia.

Sesi foto bersama satu angkatan tiba, kakinya terasa lemas. Terlalu malu ia untuk berdiri dan berswafoto dengan teman-temannya. Sebelum ada yang menyadari keadaan dirinya, ia segera berlari keluar aula melalui pintu keluar terdekat. Tujuan pertamanya adalah rooftop di atas gedung utama, tempat pelarian keduanya setelah kimia.

Air matanya sudah enggan untuk keluar. Ia mengurung diri di atas gedung lima lantai tersebut. Ia menghancurkan semuanya. Mengecewakan dirinya.

Awan mendung di langit Jakarta serempak membuat Jakarta lebih terlihat kelam hari sabtu yang semula cerah itu. Suara roda besi kereta yang bersua dengan rel nya terdengar lamat-lamat. Jiwa Labdajaya yang terlampau lelah terbang diiringi suara sirine ambulans dan isak tangis banyak manusia. Rintihan penyesalan turut merebak dalam rangka mengantar sang anak tuhan kembali ke pangkuanNya dengan cara tak biasa. Ia lompat dari ketinggian dua puluh meter. 

Komentar